BPI91.COM Kalimantan Timur – Salah satu kegiatan berkemah Jokowi tersebut adalah menggelar Kendi Nusantara yang dilakukan di titik nol IKN Nusantara. Dalam kegiatan tersebut, 34 gubernur diminta membawa 1 liter air dan 2 kilogram tanah dari daerah masing-masing. Air dan tanah tersebut kemudian disatukan dalam kendi besar yang disebut Bejana Nusantara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkemah di Ibu Kota Negara (IKN) di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur pada 14-15 Mart 2022 lalu. Kemah Jokowi yang diikuti sejumlah menteri dan kepala daerah tersebut merupakan simbol awal pembangunan IKN Nusantara.
Setelah berlangsung acara Kendi Nusantara tersebut, muncul beberapa pernyataan peyoratif yang menyebut kegiatan tersebut sebagai ritual syirik, klenik, sesat, halusinasi nenek moyang, mengundang adzab, bertentangan dengan akidah, dan lainnya. Tulisan ini ingin menyoroti kegiatan Kendi Nusantara tersebut dari perspektif hukum Islam.
Hukum Suatu Tradisi dalam Islam
Ketentuan hukum Islam atas berlakunya suatu tradisi tertentu di masyarakat ada 3 (tiga) yaitu, pertama, tidak melarang, misalnya tradisi bangsa Arab sebelum Islam yaitu perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram. Beberapa ayat Al-Quran menerima (membolehkan) dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut.
Kedua, melarang suatu tradisi. Islam menolak berlakunya sebuah tradisi yang negatif dan secara nyata diharamkan dalam Al-Quran seperti praktik riba, kebiasaan minum khamr, berjudi, dan perbudakan.
Ketiga, tidak menerima/ menolak seluruhnya tapi mengubah sebagian tradisi tersebut. Beberapa ayat Al-Quran menerima tradisi Arab, tetapi kemudian memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakternya. Islam mentransformasikan nilai-nilai ke dalam tradisi tersebut dengan cara menambah beberapa ketentuan. Misalnya soal pakaian dan aurat perempuan, hukum perkawinan, hukum waris, qishash-diyat.
Kendi Nusantara dalam Perspektif Hukum Islam
Dalam Islam, apakah suatu tradisi itu dibolehkan atau dilarang, bisa digunakan dua pertimbangan.
Pertama, jika suatu tradisi ditempatkan dalam kajian bidang mu’amalah bukan ibadah mahdlah (ritual), maka digunakan kaidah الأصل في المعاملة الإباحة إلا أن يدل الدليل على التحريم (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh nash), sehingga tradisi itu termasuk kategori boleh dilakukan.
Adapun jika sesuatu itu bersifat ibadah maka digunakan kaidah الأصل في العبادة التحريم إلا أن يدل الدليل على الإباحة (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan).
Atas dasar itu, tradisi apapun yang ada dimasyarakat, selagi tidak ada kaitannya dengan persoalan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat (tidak ada nash yang melarang) maka hukunya boleh dilakukan (ibahah).
Kedua, salah satu prinsip penting lain yang digunakan penetapan hukum Islam adalah kemaslahatan atau kemanfaatan riil (istishlah atau maslahah mursalah). Untuk menilai tradisi itu boleh atau tidak boleh harus dilihat, apakah ada nilai maslahat (kebaikan) nya atau tidak. Apabila tradisi itu ada manfaatnya dan tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka minimal hukumnya boleh (ibahah).
Sebagaimana disampaikan Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, prosesi penyatuan tanah dan air yang dibawa para gubernur dari daerah masing-masing dalam acara Kendi Nusantara, merupakan simbol pemersatu 34 propinsi di Indonesia hingga menjadi satu Tanah Air. Filosofi kegiatan tersebut mewakili keberagaman dan keaarifan lokal, serta budaya masing-masing daerah.
Mencermati motivasi dan prosesi kegiatan Kendi Nusantara tersebut, kegiatan tersebut termasuk dalam kategori mu’amalah (bukan ibadah) sehingga dalam hukum Islam dibolehkan. Kemudian dilihat dari aspek kemanfaatannya, kegiatan tersebut tidak mengakibatkan madharat (efek negatif), maka kegiatan itu tidaklah diharamkan (ibahah), tidak termasuk kategori perbuatan musyrik dan tidak sesat.
Oleh:
DR. Abd Jamil Wahab, M.Si